Setumpuk Koran di Pundaknya


Sosoknya yang ringkih terlihat dari tikungan SDN Kepatrian, samping Pagelaran Keraton, Jogjakarta. Seperti pagi seminggu lalu ia kenakan celana selutut dan kaos lusuh. Di lengan kirinya bersandar setumpuk koran. Dialah Pak Pego.
Saban hari jam setengah enam pagi Pak Pego keluar dari rumahnya yang berada di belakang kios-kios batik di Pasar Ngasem. Dari rumahnya ia jalan kaki ke Tamansari. Di sini ia duduk menunggu pembeli. Terkadang para penjual barang-barang khas Jogja yang menggelar dagangannya di sana turut membeli koran-koran dari Pak Pego.
Dari keraton ia berjalan lagi ke arah utara melewati Jalan Wijilan dan tembus ke Jalan Ibu Ruswo. Pelan-pelan ia berjalan sampai di depan pagelaran keraton. Mulutnya tak mengeluarkan suara sepanjang ia berjalan. Bila sudah berada di depan sekelompok orang ia akan menyodorkan koran-korannya. Penanda ia menawarkan dagangannya.
Pak Pego mengaku lahir pada 1924. Nama aslinya Ngadiran. Seingatnya, waktu masih cilik ia pernah ikut latihan militer Jepang. Disuruh ikut latihan ia manut saja karena pada waktu itu ia tidak punya pilihan. Lagipula ia melihat teman-temannya ikut menjadi tentara Jepang. Ia pernah turut berjuang di Ambarawa. Peristiwa Ambarawa atau yang dikenal dengan nama Palagan Ambarawa terjadi pada akhir 1945. Sayang Pak Pego sudah lupa akan pengalaman-pengalamannya dulu. Kadang saat ditanya ia diam sejenak. Lantas, berucap “lali” sambil tertawa memamerkan ketiadaan gigi-giginya. Ia tertawakan dirinya yang sudah lupa banyak hal, termasuk ikhwal dirinya disebut Pego.
Saat Soekarno menjadi presiden RI, Pak Pego menarik becak. Puluhan tahun ia menjadi pengayuh becak sampai 1990-an. Ketika kakinya mulai terasa sakit dan nyeri, ia putuskan berhenti mbecak. Ia lepas becaknya seharga Rp300.000,00. Uang itu ia jadikan modal berjualan koran di Pasar Ngasem. Anaknya yang sudah dewasa membantunya berjualan. Kemudian mereka bagi tugas. Si anak gelar lapak berjualan koran dan rokok di pasar, si bapak jualan koran keliling.
Pak Pego tidak bisa baca tulis. Ia menghapal bentuk dan warna huruf judul koran. Kalau ada orang yang hendak beli Bernas Jogja, misalnya, ia akan mencari judul koran yang terdiri dari dua kata dan berwarna hitam. Saat orang tanya harga koran ia balik bertanya “di situ berapa?” sambil menunjuk koran. Si calon pembeli menyebutkan harga yang tertera di koran dan Pak Pego mengangguk. Ada kemungkinan calon pembeli membohongi Pak Pego. Ia juga tidak bisa menghitung uang. Ia hafal warna uang kertas dan uang logam. Seringkali ia minta pembeli menghitung uang kembalian.
Bila panah jam di tangannya menunjuk angka 1 ia akan berjalan kaki kembali ke rumah. Sampai di sana ia serahkan seluruh uang yang ada di kantongnya dan koran-koran yang tak terjual kepada anaknya. Ia tidak tahu berapa pendapatan penjualan koran dalam satu hari. Setelah itu ia masuk ke dalam rumah dan menikmati masakan istrinya. Nasi, tahu dan sayur jadi santapannya setiap hari. Segelas teh manis hangat dan sebatang rokok 76 jadi penutup makan siangnya. Perut sudah terisi, ia rebahkan dirinya di dipan depan rumah.
Pagi besok ia akan berjalan kaki lagi di rute yang sama. Cara menjualnya pun sama. Yang berbeda hanyalah para pembelinya. Begitu terus setiap hari. Pak Pego tidak pernah merasa bosan menjalankan pekerjaannya. Dari menarik becak dan menjual koran ia bisa menghidupi istri dan kelima anaknya. Tiga anaknya sudah menikah. Masing-masing beranak tiga orang. Sedangkan dua anak lainnya masih bujang. Seorang anak menjual rokok dan koran, seorang lainnya menjual burung. Pak Pego punya prinsip hidup yang sederhana: hidup itu yang penting sehat dan jujur. Tidak lebih.

Jogjakarta, 21 Agustus 2008

Inkud. Saya rindu padanya. Sungguh.


Bila malam telah menggelayut, saya tak takut membiarkan jendela kamar saya terbuka. Saya senang bila hembusan angin malam menyapa. Walaupun seharusnya saya takut karena, katanya, ada hantu yang berkeliaran di depan jendela kamar saya. Tak peduli.
Kamar saya berukuran 3 x 3 meter. Cukup untuk menampung sebuah tempat tidur, dua meja, sebuah lemari dengan rak panjangnya dan sedikit lantai tempat duduk. Semuanya tak tertata rapi. Saya akui. Tapi saya suka segala keberantakan itu.
Di kamar itu saya habiskan sang waktu. Pulang kuliah saya nyalakan komputer dan memilih file-file untuk kerjakan tugas kuliah. Soal tugas kuliah, ini yang paling menyita hidup saya. Ada-ada saja tugas di jurusan jurnalistik, kampus saya itu. Ada tugas menganalisis berita, buat program radio, analisis SWOT, buat artikel, riset kecil. Macam-macamlah.
Beruntung di komputer saya ada program Winamp. Jadi saya bisa mendengarkan musik dari program itu. Beberapa lagu kerapkali saya putar untuk mendampingi saya membuat tugas. Tak usah saya sebutkan satu per satu. Hanya saja saya ingin mengucapkan terimakasih buat D’Cinnamons, Dewa 19, Sore, Anggun, Rastafara. Merekalah yang menemani saya membuat tugas.
Kalau sudah merasa penat di depan layar komputer, saya putar badan. Ambil gelas, tuangkan kopi dan seduh dengan air panas. Aduk sebentar baru saya bubuhkan gula. Menurut kawan saya yang suka minum kopi, akan lebih baik menuangkan gula setelah kopi larut dengan air panas. Tujuannya supaya kopi lebih sedap dicecap. Saya ikuti resepnya dan memang benar demikian.
Kopi siap, tak lupa sebatang rokok dinyalakan. Saya duduk di pinggir jendela dan mulai menikmati kedua kawan saya, si kopi dan si rokok. Suka sekali saya kalau langit yang tengah memajang diri warnaya sudah kemerahan. Pertanda akan senja. Saya hanya dapat sepetak langit kemerahan tanpa tuan senjanya sendiri. Kos sebelah saya berdiri terlalu tinggi sehingga menutupi matahari yang bermetamorfosis menjadi senja. Tapi tak apalah. Saya sudah terlalu suka dengan semua yang tersaji. Sederhana dan menyenangkan.
Saya masih melek walaupun malam sudah tua. Biasanya saya mengobrol dengan kawan kos atau kawan kuliah. Kalau tidak mengobrol saya benamkan diri dalam bacaan. Jika uang cukup banyak saya melangkahkan kaki ke warnet Imago untuk membuka website ini itu, situs ini itu, unduh informasi ini itu, dan friendster. Sekitar jam tigaan baru terasa mata ini lelah. Saat itulah saya kembali ke kamar dan membaringkan diri di kasur, tidur.
Itu sekelumit aktivitas saya di kos Inkud. Semuanya biasa-biasa saja. Akan tak biasa-biasa saja bila kawan-kawan saya datang. Kami bercerita panjang lebar. Apa saja dibicarakan. Dosen, tugas kuliah, teman kampus, ibu kantin, gebetan baru, banyak lagi. Cerita kami selalu berselang-seling dengan tawa. Sebuah tawa yang pasti mengganggu penghuni kos lainnya. Namun, sejauh ini belum ada pengaduan. Jadi, tawa kami masih bebas, belum dibatasi. Hampir saban malam saya ditemani kawan-kawan kampus. Kamar saya ramai selalu.
Astaga! Ini yang menjadi bahan kerinduan saya. Ya, benar! Saya mengerti mengapa saya rindu Jatinangor dan kos Inkud. Ada kenangan di sana. Kenangan waktu saya sendirian di kamar. Dan kenangan saat saya ditemani kawan-kawan saya. Ada kesendirian dan kebersamaan. Ada kesenyapan dan kegegapgempitaan. Ada kesatuan. Ya, benar! Itu yang saya rindukan.
Ingin rasanya saya habiskan bulan Juli ini sesegera mungkin. Biar saya kembali ke Jatinangor dan injakkan kaki di kos Inkud. Mengajak kawan-kawan merayakan kebersamaan. Menertawakan segala kebodohan dan kepintaran kami. Menertawakan kenaifan kami masuk jurnalistik. Tertawa dan terus tertawa, sampai lunglai.

Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa

Sebuah masa tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari masa sebelumnya. Manusia pun begitu. Ia adalah dialektika di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa membuktikan hal itu.
Sejarah komunitas etnis Cina di Pulau Jawa memang belum banyak diteliti. Namun, Peter Carey telah mencoba merekonstruksi kehidupan komunitas etnis Tionghoa di Jawa sebelum Perang Jawa (1825). Hubungan perdagangan orang-orang Cina peranakan di Pulau Jawa telah dimulai sejak lama. Peter Carey bahkan menulis, hubungan perdagangan ini telah dimulai sejak awal abad-abad masehi. Keberadaan orang-orang Cina di Pulau Jawa dapat dilihat pada lingkup ekonomi, sosial dan keagamaan.
Pada tataran ekonomi, dikatakan, di abad ke-14 orang Jawa telah terbiasa dengan barang impor dari Cina. Di lingkup sosial, sudah terjadi perkawinan dengan penduduk setempat. Sedangkan, pada tataran keagamaan, orang-orang Cina ikut menyebarkan agama Islam. Perkembangannya orang-orang Cina berhasil menguasai perdagangan di sekitar kota pelabuhan di pantai utara.
Mereka juga masuk ke lingkungan istana. Orang-orang Cina yang dikenal handal dalam hitung-menghitung membantu pengelolaan keuangan istana. Para perempuan Cina peranakan yang cantik dan menarik hati dijadikan isteri penguasa lokal.
Di titik inilah orang-orang Cina punya hubungan yang kental dengan penguasa dan pihak istana. Mereka belajar bahwa untuk meluluskan kehidupan ekonomi yang tinggi mereka harus berinteraksi kuat dengan orang-orang “tingkat atas”.
Salah satu peranan orang Cina yang diberikan istana adalah menjadi syahbandar atau mandor tol dan bea cukai. Syahbandar ini bertugas menagih uang tol dan bea cukai khusus para pedagang Cina. Pekerjaan ini bagi orang Cina, pada masa itu, amat besar dampaknya. Salah satunya hak istimewa untuk diadili menggunakan Undang-undang Romawi-Belanda.
Orang-orang Cina juga menjadi pedagang eceran jual-beli candu dan tekstil. Mereka pun menjadi pedagang perantara beberapa hasil pertanian. Bahkan sebagai pengurus dan pemelihara pasar dan pembuat senjata. Intinya, orang-orang Cina punya peranan yang menguntungkan mereka secara ekonomi dan kedudukan sosial. Terlebih mereka disokong sangat oleh istana.
Pajak tol dan bea cukai yang mencekik leher membuat orang-orang Jawa dengki. Kondisi ini berlarut lama sampai tercipta kedudukan orang Jawa berada di bawah kedudukan orang Cina. Cemburu dan rasa iri menimpa orang Jawa dalam menghadapi orang Cina.
Peter Carey membatasi penelitiannya yang tertuang dalam buku ini dalam ruang dan waktu yang spesifik. Ia meneliti komunitas Cina di wilayah-wilayah yang dikuasai dan dipengaruhi kerajaan di Jawa Tengah. Waktunya terjadi antara masa Perjanjian Giyanti (1775) dan meletusnya Perang Jawa (1825).
Beban pajak bagi orang Jawa, khususnya petani, terbilang tinggi. Inilah faktor pemicu ketegangan antara orang Cina dan orang Jawa. Mengapa pajak bisa begitu tinggi? Ini lantaran penguasa istana yang butuh banyak uang untuk membiayai kehidupan istana. Kehidupan mewah mereka.
Penguasa istana menilai pemasukan dari bandar tol – yang dikuasai orang-orang Cina – amat menguntungkan. Maka terus-menerus mereka menggenjot orang Cina untuk menghasilkan uang yang lebih, lebih, dan lebih banyak lagi. Tekanan ini membuat orang-orang Cina memeras petani-petani Jawa dengan cara memberlakukan pajak tol dan bea cukai yang tinggi.
Semakin kukuhlah persepsi orang Jawa terhadap orang Cina. Orang Cina dinilai rakus uang dan kekuasaan. Maka ketika orang Jawa tersulut seruan anti-asing, mereka bersikap memusuhi orang Cina. Ini disadari orang Cina. Kesadaran mereka sebagai orang-orang yang sewaktu-waktu bisa diserang orang Jawa. Sebagai komunitas yang terpisah dan dibenci.
Buku ini menarik karena ia memberikan pencerahan mengenai sejarah orang Cina di Pulau Jawa dan stigma yang menempel pada mereka. Hasil penelitian Peter Carey ini masih relevan mengingat keberadaan orang Cina di masa ini masih tanda tanya. Apalagi sampai dijadikan ’minoritas perantara’ dengan posisi politik yang lemah.

Judul : Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa
Penulis : Peter Carey
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Tahun terbit : Pertama, 2008
Halaman : xxxii + 136

Gadis Pantai yang Rindu Kebebasan

Manusia punya kebebasannya masing-masing. Kebebasan itu ditandai akan tindakan-tindakan dalam hidupnya yang ia lakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Buku bertajuk Gadis Pantai yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini berbicara soal perjuangan memperoleh kebebasan tersebut.
Adalah seorang Gadis Pantai harus menjalani hidupnya yang berubah total. Kampung nelayan tempat ia tinggal bersama emak, bapak, dan saudara-saudaranya harus ia tinggalkan. Ketika itu ia berumur empat belas tahun, belum matang benar dalam menggali makna hidup. Kehidupannya sebagai anak nelayan miskin di sebuah pinggiran laut bebas harus ia kuburkan. Kehidupan Gadis Pantai dari habitatnya terenggut saat ia harus kawin dengan seorang bangsawan.
Gadis Pantai berubah menjadi nyonya bangsawan. Ia mencicipi nyamannya tinggal di rumah megah, dilayani para pembantu, memakai kebaya bagus dan perhiasan mahal, serta belajar mengaji dan membatik. Ia hidup dengan segala kemewahan duniawi. Bertutur kata dengan bahasa bangsawan. Mencoba menggunakan pola pikir para priyayi.
Namun, Gadis Pantai tetaplah gadis dari pantai. Ia tetap rindu akan deburan ombak dan ribuan butir pasir putih di kampungnya. Ia selalu teringat ayahnya yang merajut jaring ikan. Kerapkali ia terngiang canda tawa emak bapak dan orang-orang kampungnya. Ia ingin seperti dulu, berada dekat dengan segala bentuk kebebasannya.
Karya sastrawan besar Indonesia yang suka membuat tulisan berbau realisme sosialis ini ingin menunjukkan betapa sulitnya seorang manusia mendapatkan kebebasannya ketika dirinya berbenturan dengan ketertindasan, kemiskinan, ketidakberdayaan.
Kisah ini berlatar tempat di Jawa Tengah, kental akan dikotomi sosial, bendoro-sahaya atau bangsawan-rakyat jelata. Ketika sang bangsawan memerintah, si bawahan hanya mengiyakan tanpa diperbolehkan bertanya. Kebebasan berpendapat dilarang, jika melanggar hukumannya akan sangat berat. Gadis Pantai merasakan hal ini. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana mungkin manusia memerintahkan manusia lain tanpa memberikan keleluasaan untuk berbicara dan berkehendak.
Gadis Pantai bukanlah gadis berpendidikan. Ia hidup di pinggiran laut lepas yang penduduknya tidak mengenal baca tulis. Ia tidak memiliki secuil pun ilmu dari berbagai buku dan guru. Namun, Gadis Pantai memiliki kesadaran akan timpangnya tatanan sosial akibat pengalaman hidupnya: hidup miskin di pantai dan bermukim nyaman di istana. Dua kehidupan yang berbeda pandangan dan rasa.
Kisah ini menyuguhkan hal sederhana bahwa manusia tetap bisa bersuara dalam hati ketika ia ditindas. Dan saat ada kesempatan, ia wujudkan dalam tindakan. Gadis Pantai membuktikan kedua hal tersebut.