Manusia punya kebebasannya masing-masing. Kebebasan itu ditandai akan tindakan-tindakan dalam hidupnya yang ia lakukan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Buku bertajuk Gadis Pantai yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini berbicara soal perjuangan memperoleh kebebasan tersebut.
Adalah seorang Gadis Pantai harus menjalani hidupnya yang berubah total. Kampung nelayan tempat ia tinggal bersama emak, bapak, dan saudara-saudaranya harus ia tinggalkan. Ketika itu ia berumur empat belas tahun, belum matang benar dalam menggali makna hidup. Kehidupannya sebagai anak nelayan miskin di sebuah pinggiran laut bebas harus ia kuburkan. Kehidupan Gadis Pantai dari habitatnya terenggut saat ia harus kawin dengan seorang bangsawan.
Gadis Pantai berubah menjadi nyonya bangsawan. Ia mencicipi nyamannya tinggal di rumah megah, dilayani para pembantu, memakai kebaya bagus dan perhiasan mahal, serta belajar mengaji dan membatik. Ia hidup dengan segala kemewahan duniawi. Bertutur kata dengan bahasa bangsawan. Mencoba menggunakan pola pikir para priyayi.
Namun, Gadis Pantai tetaplah gadis dari pantai. Ia tetap rindu akan deburan ombak dan ribuan butir pasir putih di kampungnya. Ia selalu teringat ayahnya yang merajut jaring ikan. Kerapkali ia terngiang canda tawa emak bapak dan orang-orang kampungnya. Ia ingin seperti dulu, berada dekat dengan segala bentuk kebebasannya.
Karya sastrawan besar Indonesia yang suka membuat tulisan berbau realisme sosialis ini ingin menunjukkan betapa sulitnya seorang manusia mendapatkan kebebasannya ketika dirinya berbenturan dengan ketertindasan, kemiskinan, ketidakberdayaan.
Kisah ini berlatar tempat di Jawa Tengah, kental akan dikotomi sosial, bendoro-sahaya atau bangsawan-rakyat jelata. Ketika sang bangsawan memerintah, si bawahan hanya mengiyakan tanpa diperbolehkan bertanya. Kebebasan berpendapat dilarang, jika melanggar hukumannya akan sangat berat. Gadis Pantai merasakan hal ini. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana mungkin manusia memerintahkan manusia lain tanpa memberikan keleluasaan untuk berbicara dan berkehendak.
Gadis Pantai bukanlah gadis berpendidikan. Ia hidup di pinggiran laut lepas yang penduduknya tidak mengenal baca tulis. Ia tidak memiliki secuil pun ilmu dari berbagai buku dan guru. Namun, Gadis Pantai memiliki kesadaran akan timpangnya tatanan sosial akibat pengalaman hidupnya: hidup miskin di pantai dan bermukim nyaman di istana. Dua kehidupan yang berbeda pandangan dan rasa.
Kisah ini menyuguhkan hal sederhana bahwa manusia tetap bisa bersuara dalam hati ketika ia ditindas. Dan saat ada kesempatan, ia wujudkan dalam tindakan. Gadis Pantai membuktikan kedua hal tersebut.
Adalah seorang Gadis Pantai harus menjalani hidupnya yang berubah total. Kampung nelayan tempat ia tinggal bersama emak, bapak, dan saudara-saudaranya harus ia tinggalkan. Ketika itu ia berumur empat belas tahun, belum matang benar dalam menggali makna hidup. Kehidupannya sebagai anak nelayan miskin di sebuah pinggiran laut bebas harus ia kuburkan. Kehidupan Gadis Pantai dari habitatnya terenggut saat ia harus kawin dengan seorang bangsawan.
Gadis Pantai berubah menjadi nyonya bangsawan. Ia mencicipi nyamannya tinggal di rumah megah, dilayani para pembantu, memakai kebaya bagus dan perhiasan mahal, serta belajar mengaji dan membatik. Ia hidup dengan segala kemewahan duniawi. Bertutur kata dengan bahasa bangsawan. Mencoba menggunakan pola pikir para priyayi.
Namun, Gadis Pantai tetaplah gadis dari pantai. Ia tetap rindu akan deburan ombak dan ribuan butir pasir putih di kampungnya. Ia selalu teringat ayahnya yang merajut jaring ikan. Kerapkali ia terngiang canda tawa emak bapak dan orang-orang kampungnya. Ia ingin seperti dulu, berada dekat dengan segala bentuk kebebasannya.
Karya sastrawan besar Indonesia yang suka membuat tulisan berbau realisme sosialis ini ingin menunjukkan betapa sulitnya seorang manusia mendapatkan kebebasannya ketika dirinya berbenturan dengan ketertindasan, kemiskinan, ketidakberdayaan.
Kisah ini berlatar tempat di Jawa Tengah, kental akan dikotomi sosial, bendoro-sahaya atau bangsawan-rakyat jelata. Ketika sang bangsawan memerintah, si bawahan hanya mengiyakan tanpa diperbolehkan bertanya. Kebebasan berpendapat dilarang, jika melanggar hukumannya akan sangat berat. Gadis Pantai merasakan hal ini. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana mungkin manusia memerintahkan manusia lain tanpa memberikan keleluasaan untuk berbicara dan berkehendak.
Gadis Pantai bukanlah gadis berpendidikan. Ia hidup di pinggiran laut lepas yang penduduknya tidak mengenal baca tulis. Ia tidak memiliki secuil pun ilmu dari berbagai buku dan guru. Namun, Gadis Pantai memiliki kesadaran akan timpangnya tatanan sosial akibat pengalaman hidupnya: hidup miskin di pantai dan bermukim nyaman di istana. Dua kehidupan yang berbeda pandangan dan rasa.
Kisah ini menyuguhkan hal sederhana bahwa manusia tetap bisa bersuara dalam hati ketika ia ditindas. Dan saat ada kesempatan, ia wujudkan dalam tindakan. Gadis Pantai membuktikan kedua hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar