Bila malam telah menggelayut, saya tak takut membiarkan jendela kamar saya terbuka. Saya senang bila hembusan angin malam menyapa. Walaupun seharusnya saya takut karena, katanya, ada hantu yang berkeliaran di depan jendela kamar saya. Tak peduli.
Kamar saya berukuran 3 x 3 meter. Cukup untuk menampung sebuah tempat tidur, dua meja, sebuah lemari dengan rak panjangnya dan sedikit lantai tempat duduk. Semuanya tak tertata rapi. Saya akui. Tapi saya suka segala keberantakan itu.
Di kamar itu saya habiskan sang waktu. Pulang kuliah saya nyalakan komputer dan memilih file-file untuk kerjakan tugas kuliah. Soal tugas kuliah, ini yang paling menyita hidup saya. Ada-ada saja tugas di jurusan jurnalistik, kampus saya itu. Ada tugas menganalisis berita, buat program radio, analisis SWOT, buat artikel, riset kecil. Macam-macamlah.
Beruntung di komputer saya ada program Winamp. Jadi saya bisa mendengarkan musik dari program itu. Beberapa lagu kerapkali saya putar untuk mendampingi saya membuat tugas. Tak usah saya sebutkan satu per satu. Hanya saja saya ingin mengucapkan terimakasih buat D’Cinnamons, Dewa 19, Sore, Anggun, Rastafara. Merekalah yang menemani saya membuat tugas.
Kalau sudah merasa penat di depan layar komputer, saya putar badan. Ambil gelas, tuangkan kopi dan seduh dengan air panas. Aduk sebentar baru saya bubuhkan gula. Menurut kawan saya yang suka minum kopi, akan lebih baik menuangkan gula setelah kopi larut dengan air panas. Tujuannya supaya kopi lebih sedap dicecap. Saya ikuti resepnya dan memang benar demikian.
Kopi siap, tak lupa sebatang rokok dinyalakan. Saya duduk di pinggir jendela dan mulai menikmati kedua kawan saya, si kopi dan si rokok. Suka sekali saya kalau langit yang tengah memajang diri warnaya sudah kemerahan. Pertanda akan senja. Saya hanya dapat sepetak langit kemerahan tanpa tuan senjanya sendiri. Kos sebelah saya berdiri terlalu tinggi sehingga menutupi matahari yang bermetamorfosis menjadi senja. Tapi tak apalah. Saya sudah terlalu suka dengan semua yang tersaji. Sederhana dan menyenangkan.
Saya masih melek walaupun malam sudah tua. Biasanya saya mengobrol dengan kawan kos atau kawan kuliah. Kalau tidak mengobrol saya benamkan diri dalam bacaan. Jika uang cukup banyak saya melangkahkan kaki ke warnet Imago untuk membuka website ini itu, situs ini itu, unduh informasi ini itu, dan friendster. Sekitar jam tigaan baru terasa mata ini lelah. Saat itulah saya kembali ke kamar dan membaringkan diri di kasur, tidur.
Itu sekelumit aktivitas saya di kos Inkud. Semuanya biasa-biasa saja. Akan tak biasa-biasa saja bila kawan-kawan saya datang. Kami bercerita panjang lebar. Apa saja dibicarakan. Dosen, tugas kuliah, teman kampus, ibu kantin, gebetan baru, banyak lagi. Cerita kami selalu berselang-seling dengan tawa. Sebuah tawa yang pasti mengganggu penghuni kos lainnya. Namun, sejauh ini belum ada pengaduan. Jadi, tawa kami masih bebas, belum dibatasi. Hampir saban malam saya ditemani kawan-kawan kampus. Kamar saya ramai selalu.
Astaga! Ini yang menjadi bahan kerinduan saya. Ya, benar! Saya mengerti mengapa saya rindu Jatinangor dan kos Inkud. Ada kenangan di sana. Kenangan waktu saya sendirian di kamar. Dan kenangan saat saya ditemani kawan-kawan saya. Ada kesendirian dan kebersamaan. Ada kesenyapan dan kegegapgempitaan. Ada kesatuan. Ya, benar! Itu yang saya rindukan.
Ingin rasanya saya habiskan bulan Juli ini sesegera mungkin. Biar saya kembali ke Jatinangor dan injakkan kaki di kos Inkud. Mengajak kawan-kawan merayakan kebersamaan. Menertawakan segala kebodohan dan kepintaran kami. Menertawakan kenaifan kami masuk jurnalistik. Tertawa dan terus tertawa, sampai lunglai.
Kamar saya berukuran 3 x 3 meter. Cukup untuk menampung sebuah tempat tidur, dua meja, sebuah lemari dengan rak panjangnya dan sedikit lantai tempat duduk. Semuanya tak tertata rapi. Saya akui. Tapi saya suka segala keberantakan itu.
Di kamar itu saya habiskan sang waktu. Pulang kuliah saya nyalakan komputer dan memilih file-file untuk kerjakan tugas kuliah. Soal tugas kuliah, ini yang paling menyita hidup saya. Ada-ada saja tugas di jurusan jurnalistik, kampus saya itu. Ada tugas menganalisis berita, buat program radio, analisis SWOT, buat artikel, riset kecil. Macam-macamlah.
Beruntung di komputer saya ada program Winamp. Jadi saya bisa mendengarkan musik dari program itu. Beberapa lagu kerapkali saya putar untuk mendampingi saya membuat tugas. Tak usah saya sebutkan satu per satu. Hanya saja saya ingin mengucapkan terimakasih buat D’Cinnamons, Dewa 19, Sore, Anggun, Rastafara. Merekalah yang menemani saya membuat tugas.
Kalau sudah merasa penat di depan layar komputer, saya putar badan. Ambil gelas, tuangkan kopi dan seduh dengan air panas. Aduk sebentar baru saya bubuhkan gula. Menurut kawan saya yang suka minum kopi, akan lebih baik menuangkan gula setelah kopi larut dengan air panas. Tujuannya supaya kopi lebih sedap dicecap. Saya ikuti resepnya dan memang benar demikian.
Kopi siap, tak lupa sebatang rokok dinyalakan. Saya duduk di pinggir jendela dan mulai menikmati kedua kawan saya, si kopi dan si rokok. Suka sekali saya kalau langit yang tengah memajang diri warnaya sudah kemerahan. Pertanda akan senja. Saya hanya dapat sepetak langit kemerahan tanpa tuan senjanya sendiri. Kos sebelah saya berdiri terlalu tinggi sehingga menutupi matahari yang bermetamorfosis menjadi senja. Tapi tak apalah. Saya sudah terlalu suka dengan semua yang tersaji. Sederhana dan menyenangkan.
Saya masih melek walaupun malam sudah tua. Biasanya saya mengobrol dengan kawan kos atau kawan kuliah. Kalau tidak mengobrol saya benamkan diri dalam bacaan. Jika uang cukup banyak saya melangkahkan kaki ke warnet Imago untuk membuka website ini itu, situs ini itu, unduh informasi ini itu, dan friendster. Sekitar jam tigaan baru terasa mata ini lelah. Saat itulah saya kembali ke kamar dan membaringkan diri di kasur, tidur.
Itu sekelumit aktivitas saya di kos Inkud. Semuanya biasa-biasa saja. Akan tak biasa-biasa saja bila kawan-kawan saya datang. Kami bercerita panjang lebar. Apa saja dibicarakan. Dosen, tugas kuliah, teman kampus, ibu kantin, gebetan baru, banyak lagi. Cerita kami selalu berselang-seling dengan tawa. Sebuah tawa yang pasti mengganggu penghuni kos lainnya. Namun, sejauh ini belum ada pengaduan. Jadi, tawa kami masih bebas, belum dibatasi. Hampir saban malam saya ditemani kawan-kawan kampus. Kamar saya ramai selalu.
Astaga! Ini yang menjadi bahan kerinduan saya. Ya, benar! Saya mengerti mengapa saya rindu Jatinangor dan kos Inkud. Ada kenangan di sana. Kenangan waktu saya sendirian di kamar. Dan kenangan saat saya ditemani kawan-kawan saya. Ada kesendirian dan kebersamaan. Ada kesenyapan dan kegegapgempitaan. Ada kesatuan. Ya, benar! Itu yang saya rindukan.
Ingin rasanya saya habiskan bulan Juli ini sesegera mungkin. Biar saya kembali ke Jatinangor dan injakkan kaki di kos Inkud. Mengajak kawan-kawan merayakan kebersamaan. Menertawakan segala kebodohan dan kepintaran kami. Menertawakan kenaifan kami masuk jurnalistik. Tertawa dan terus tertawa, sampai lunglai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar