Sebuah masa tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari masa sebelumnya. Manusia pun begitu. Ia adalah dialektika di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa membuktikan hal itu.
Sejarah komunitas etnis Cina di Pulau Jawa memang belum banyak diteliti. Namun, Peter Carey telah mencoba merekonstruksi kehidupan komunitas etnis Tionghoa di Jawa sebelum Perang Jawa (1825). Hubungan perdagangan orang-orang Cina peranakan di Pulau Jawa telah dimulai sejak lama. Peter Carey bahkan menulis, hubungan perdagangan ini telah dimulai sejak awal abad-abad masehi. Keberadaan orang-orang Cina di Pulau Jawa dapat dilihat pada lingkup ekonomi, sosial dan keagamaan.
Pada tataran ekonomi, dikatakan, di abad ke-14 orang Jawa telah terbiasa dengan barang impor dari Cina. Di lingkup sosial, sudah terjadi perkawinan dengan penduduk setempat. Sedangkan, pada tataran keagamaan, orang-orang Cina ikut menyebarkan agama Islam. Perkembangannya orang-orang Cina berhasil menguasai perdagangan di sekitar kota pelabuhan di pantai utara.
Mereka juga masuk ke lingkungan istana. Orang-orang Cina yang dikenal handal dalam hitung-menghitung membantu pengelolaan keuangan istana. Para perempuan Cina peranakan yang cantik dan menarik hati dijadikan isteri penguasa lokal.
Di titik inilah orang-orang Cina punya hubungan yang kental dengan penguasa dan pihak istana. Mereka belajar bahwa untuk meluluskan kehidupan ekonomi yang tinggi mereka harus berinteraksi kuat dengan orang-orang “tingkat atas”.
Salah satu peranan orang Cina yang diberikan istana adalah menjadi syahbandar atau mandor tol dan bea cukai. Syahbandar ini bertugas menagih uang tol dan bea cukai khusus para pedagang Cina. Pekerjaan ini bagi orang Cina, pada masa itu, amat besar dampaknya. Salah satunya hak istimewa untuk diadili menggunakan Undang-undang Romawi-Belanda.
Orang-orang Cina juga menjadi pedagang eceran jual-beli candu dan tekstil. Mereka pun menjadi pedagang perantara beberapa hasil pertanian. Bahkan sebagai pengurus dan pemelihara pasar dan pembuat senjata. Intinya, orang-orang Cina punya peranan yang menguntungkan mereka secara ekonomi dan kedudukan sosial. Terlebih mereka disokong sangat oleh istana.
Pajak tol dan bea cukai yang mencekik leher membuat orang-orang Jawa dengki. Kondisi ini berlarut lama sampai tercipta kedudukan orang Jawa berada di bawah kedudukan orang Cina. Cemburu dan rasa iri menimpa orang Jawa dalam menghadapi orang Cina.
Peter Carey membatasi penelitiannya yang tertuang dalam buku ini dalam ruang dan waktu yang spesifik. Ia meneliti komunitas Cina di wilayah-wilayah yang dikuasai dan dipengaruhi kerajaan di Jawa Tengah. Waktunya terjadi antara masa Perjanjian Giyanti (1775) dan meletusnya Perang Jawa (1825).
Beban pajak bagi orang Jawa, khususnya petani, terbilang tinggi. Inilah faktor pemicu ketegangan antara orang Cina dan orang Jawa. Mengapa pajak bisa begitu tinggi? Ini lantaran penguasa istana yang butuh banyak uang untuk membiayai kehidupan istana. Kehidupan mewah mereka.
Penguasa istana menilai pemasukan dari bandar tol – yang dikuasai orang-orang Cina – amat menguntungkan. Maka terus-menerus mereka menggenjot orang Cina untuk menghasilkan uang yang lebih, lebih, dan lebih banyak lagi. Tekanan ini membuat orang-orang Cina memeras petani-petani Jawa dengan cara memberlakukan pajak tol dan bea cukai yang tinggi.
Semakin kukuhlah persepsi orang Jawa terhadap orang Cina. Orang Cina dinilai rakus uang dan kekuasaan. Maka ketika orang Jawa tersulut seruan anti-asing, mereka bersikap memusuhi orang Cina. Ini disadari orang Cina. Kesadaran mereka sebagai orang-orang yang sewaktu-waktu bisa diserang orang Jawa. Sebagai komunitas yang terpisah dan dibenci.
Buku ini menarik karena ia memberikan pencerahan mengenai sejarah orang Cina di Pulau Jawa dan stigma yang menempel pada mereka. Hasil penelitian Peter Carey ini masih relevan mengingat keberadaan orang Cina di masa ini masih tanda tanya. Apalagi sampai dijadikan ’minoritas perantara’ dengan posisi politik yang lemah.
Judul : Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa
Penulis : Peter Carey
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Tahun terbit : Pertama, 2008
Halaman : xxxii + 136
Sejarah komunitas etnis Cina di Pulau Jawa memang belum banyak diteliti. Namun, Peter Carey telah mencoba merekonstruksi kehidupan komunitas etnis Tionghoa di Jawa sebelum Perang Jawa (1825). Hubungan perdagangan orang-orang Cina peranakan di Pulau Jawa telah dimulai sejak lama. Peter Carey bahkan menulis, hubungan perdagangan ini telah dimulai sejak awal abad-abad masehi. Keberadaan orang-orang Cina di Pulau Jawa dapat dilihat pada lingkup ekonomi, sosial dan keagamaan.
Pada tataran ekonomi, dikatakan, di abad ke-14 orang Jawa telah terbiasa dengan barang impor dari Cina. Di lingkup sosial, sudah terjadi perkawinan dengan penduduk setempat. Sedangkan, pada tataran keagamaan, orang-orang Cina ikut menyebarkan agama Islam. Perkembangannya orang-orang Cina berhasil menguasai perdagangan di sekitar kota pelabuhan di pantai utara.
Mereka juga masuk ke lingkungan istana. Orang-orang Cina yang dikenal handal dalam hitung-menghitung membantu pengelolaan keuangan istana. Para perempuan Cina peranakan yang cantik dan menarik hati dijadikan isteri penguasa lokal.
Di titik inilah orang-orang Cina punya hubungan yang kental dengan penguasa dan pihak istana. Mereka belajar bahwa untuk meluluskan kehidupan ekonomi yang tinggi mereka harus berinteraksi kuat dengan orang-orang “tingkat atas”.
Salah satu peranan orang Cina yang diberikan istana adalah menjadi syahbandar atau mandor tol dan bea cukai. Syahbandar ini bertugas menagih uang tol dan bea cukai khusus para pedagang Cina. Pekerjaan ini bagi orang Cina, pada masa itu, amat besar dampaknya. Salah satunya hak istimewa untuk diadili menggunakan Undang-undang Romawi-Belanda.
Orang-orang Cina juga menjadi pedagang eceran jual-beli candu dan tekstil. Mereka pun menjadi pedagang perantara beberapa hasil pertanian. Bahkan sebagai pengurus dan pemelihara pasar dan pembuat senjata. Intinya, orang-orang Cina punya peranan yang menguntungkan mereka secara ekonomi dan kedudukan sosial. Terlebih mereka disokong sangat oleh istana.
Pajak tol dan bea cukai yang mencekik leher membuat orang-orang Jawa dengki. Kondisi ini berlarut lama sampai tercipta kedudukan orang Jawa berada di bawah kedudukan orang Cina. Cemburu dan rasa iri menimpa orang Jawa dalam menghadapi orang Cina.
Peter Carey membatasi penelitiannya yang tertuang dalam buku ini dalam ruang dan waktu yang spesifik. Ia meneliti komunitas Cina di wilayah-wilayah yang dikuasai dan dipengaruhi kerajaan di Jawa Tengah. Waktunya terjadi antara masa Perjanjian Giyanti (1775) dan meletusnya Perang Jawa (1825).
Beban pajak bagi orang Jawa, khususnya petani, terbilang tinggi. Inilah faktor pemicu ketegangan antara orang Cina dan orang Jawa. Mengapa pajak bisa begitu tinggi? Ini lantaran penguasa istana yang butuh banyak uang untuk membiayai kehidupan istana. Kehidupan mewah mereka.
Penguasa istana menilai pemasukan dari bandar tol – yang dikuasai orang-orang Cina – amat menguntungkan. Maka terus-menerus mereka menggenjot orang Cina untuk menghasilkan uang yang lebih, lebih, dan lebih banyak lagi. Tekanan ini membuat orang-orang Cina memeras petani-petani Jawa dengan cara memberlakukan pajak tol dan bea cukai yang tinggi.
Semakin kukuhlah persepsi orang Jawa terhadap orang Cina. Orang Cina dinilai rakus uang dan kekuasaan. Maka ketika orang Jawa tersulut seruan anti-asing, mereka bersikap memusuhi orang Cina. Ini disadari orang Cina. Kesadaran mereka sebagai orang-orang yang sewaktu-waktu bisa diserang orang Jawa. Sebagai komunitas yang terpisah dan dibenci.
Buku ini menarik karena ia memberikan pencerahan mengenai sejarah orang Cina di Pulau Jawa dan stigma yang menempel pada mereka. Hasil penelitian Peter Carey ini masih relevan mengingat keberadaan orang Cina di masa ini masih tanda tanya. Apalagi sampai dijadikan ’minoritas perantara’ dengan posisi politik yang lemah.
Judul : Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa
Penulis : Peter Carey
Penerbit : Komunitas Bambu, Jakarta
Tahun terbit : Pertama, 2008
Halaman : xxxii + 136
1 komentar:
pak, mohon dikirim ebooknya, saya sangat membutuhkannya
Posting Komentar